islam adalah agama yang sempurna yang
tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan
oleh seluruh umatnya.setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai
pedoman dalam pelaksanaannya islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum
yang datang dari yang maha sempurna yang disampaikan melalui rasulnya nabi
muhammad saw yakni al-quran al-qarim Nama demikian sesuai dengan sifatnya
bahwa umat islam selalu membacanya, baik di mengerti maknanya maupun tidak.
Selain itu Al-Qur’an juga memiliki nama lain, seprti, Al-kitab, Al-Furqan,
Al-Zikri, Ar-RuhAl-Qur’an berasal dari kata Qara’a yang berarti bacaan atau
sesuatu yang di baca. Secara istilah Al-Qur’an adalah kalamullah kepada nabi
Muhammad SAW. Melalui perantaraan malaikat jibril untuk disampaikan kepada
umatnya. Al-Qur’an terdirfi dari 6666 ayat dan 144 surat yang di turunkan
secara berngsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kepada nabi Muhammad.
Permulaan turunnya Al-Qur’an adalah pada tanggal 17 ramadhan tahun 611 M.
Al-qur’an dimulai dengansuratAl-fatihah dan di sudahi
dengansuratAn-Nas. kemudian sumber hukum islam selanjutnya adalah sunnah
atau yang dikenal dengan hadist.al-quran dan hadist merupakan 2 hal yang
menjadi pedoman utama bagi umat islam dalam menjalankan hidup demi mencapai
kebahagiaan dunia akhirat
namun seiring dengan perkembangan zaman ada
saja hal hal yang tidak terdapat solusinya dalam al-quran dan hadist oleh
karena itu ada sumber hukum agama islam yang lain diantaranya ijtihad
yang berkedudukan sebagai sumber perlengkap atau tambahan-tambahan atau
penjelasan.“Ijtihad” ini bentuknya bermacam-macam, seperti Ijma’,ra’yu dan
Qiyas. Pengertian
sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau
yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa
pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping
itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum
islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah,
qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari
Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al
Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
1. Tuntunan
yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan
iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar
2. Tuntunan
yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi
pekerti yang baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan
yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari
segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114
surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari
segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum
yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan
Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum
yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan
sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum
yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat –
sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara
terbagi menjadi dua kelompok:
1. Hukum
yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar,
sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum
yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain
sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah
meliputi:
1. Hukum
yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan
warisan
2. Hukum
yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar
hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum
yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan,
persaksian dan sumpah
4. Hukum
yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum
atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum
yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam
dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum
yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam
Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang
rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada
bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan
perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar,
umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan,
undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini
hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan
nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT
telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù 4
Artinya: “ … Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW
ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur
dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka
akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW
memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum
Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua
perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan
kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam
yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan
dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh
hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan
rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci
batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian
semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain,
dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah
sebagai berikut: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu
haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.
Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan,
yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1. Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah
satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang
dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya
dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits
Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan
suatu hadits
2. Hadits
Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu
kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan
kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya
dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu
penting
3. Hadits
Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits
dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya
bersifat adil
2. Sempurna
ingatan
3. Sanadnya
tidak terputus
4. Hadits
itu tidak berilat, dan
5. Hadits
itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui
isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami
bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui
soal-soal ijma
4. menguasai
ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun
hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya
perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya
beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat
manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat
menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh
imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah
wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi
keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya: “Hai orang-oran yang
beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa
: 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk
taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin
pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi
salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu
yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti
sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada
hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.
Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman
keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi,
walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap
diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al
Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar
(dalil)
2. Masalah
yang akan diqiyaskan
3. Hukum
yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan
sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
·
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan
hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan
hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk
kepentingan keadilan
·
Istishab, yaitu meneruskan
berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai
ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
·
Istidlal, yaitu menetapkan suatu
hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan
hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa
diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al
Qur’an dan hadits
·
Maslahah mursalah, ialah maslahah
yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil
secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan
seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena
kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
·
Al ‘Urf, ialah urursan yang
disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
·
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan
yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib,
yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa
2. Sunah,
yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa
3. Haram,
yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW
dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4. Makruh,
yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa),
dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah,
yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an,
hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan,
istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari
pengambilannya terdiri atas empat macam.
1. Hukum
yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan
kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum
yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual beli boleh
memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah.
Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau
pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala
atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS
Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
مَا اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ
اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Alat apapun yang dapat mengalirkan
darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum
yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada
suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
2. Hukum
yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada
kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam
kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang
mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan
lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum
seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau
tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah
memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu
dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki
dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti
ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu
sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu
belum diubahnya.